LANSKAP HUNIAN KALA PLESTOSEN – AWAL HOLOSEN KAWASAN GUNUNG SEWU: PENGARUH LINGKUNGAN ALAM DALAM BERTAHAN HIDUP Settlement Landscapes of The Pleistocene – The Early Holosen of The Gunung Sewu Area: The Influence of The Natural Environment in Survival
Isi Artikel Utama
Abstrak
Kawasan Gunung Sewu menunjukkan adanya pola okupasi tertentu pada kurun waktu sejak Kala Plestosen hingga Awal Holosen. Pola okupasi manusia di kawasan Gunung Sewu baik hunian tempat tinggal maupun sebaran lokasi beraktivitas lainnya memberikan petunjuk utama adanya aktivitas manusia. Pengembangan teknologi sangat dipengaruhi ketersediaan sumber daya alam sekitarnya, terutama bahan baku (batu, cangkang kerang, tulang). Oleh karena itu, hubungan antara manusia dengan lokasi keberadaan sumber daya bahan baku menjadi petunjuk yang penting sebagai tempat beraktivitas manusia. Tulisan ini akan mengungkap adanya perubahan alam yang signifikan antara alam kala Plestosen dengan mengembangkan teknologi paleolitik dengan alam Kala Holosen yang mengembangkan teknologi mesolitik – neolitik. Hubungan antara okupasi, teknologi, dan lingkungan alam akan dikaji melalui pendekatan lanskap arkeologi dan sistem setting. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bentuk lahan dengan ketersediaan bahan baku dan sumber makanan menunjukkan adanya pola keruangan manusia dalam mempertahankan hidup.
Rincian Artikel

Artikel ini berlisensiCreative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Referensi
Anderson, D. D. (1997). Cave archaeology in Southeast Asia. Geoarchaeology, 12(6), 607–638. https://doi.org/10.1002/(SICI)1520-6548(199709)12:6<607::AID-GEA5>3.0.CO;2-2
Bemmelen, R. Van. (1949). Geology of Indonesia Vol-IA General.pdf.
Bergh, G. D. Van Den, Vos, J. De, Sondaar, P. Y., & Aziz, F. (1996). Pleistocene Zoogeographic Evolution Of Java (Indonesia) And Glacio-Eustatic Sea Level Fluctuations: A Background For The Presence Of Homo. Bulletin of Indo-Pacific Prehistory Association, 16(Chiang May Papers Volume 1), 7–21.
Crabtree, D. E. (1972). An Introduction to Flintworking. Idaho State University.
Crumley, C., & Marquardt, W. (1990). Landscape : A Unifying Concept in Regional Analysis. In K. M. S. Allen, S. W. Green, & E. B. W. Zubrow (Eds.), Interpreting Space: GIS and Archaeology (Issue January, pp. 73–79). Taylor & Francis.
Haryadi, H. (1995). Kemungkinan Penerapan Sistem Seting dalam Penemukenalan Penataan Ruang Kawasan. Berkala Arkeologi Edisi Khusus, XV(Manusia dalam Ruang), 5–9.
Heekeren van, H. (1957). The Stone Age of Indonesia. In The Stone Age of Indonesia. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. https://doi.org/10.26530/OAPEN_613384
Hill, A., Rosas, A., Hublin, J.-J., Kimbel, W., Leakey, M., Manzi, G., Pilbeam, D., Roche, H., Smith, F., Smith, R., Stringer, C., Thackeray, F., Weiss, M., & Zegura, S. (2011). Encyclopedia of Human Evolution (B. Wood (ed.); Volume 1). Blackwell Publishing.
Mahareni, E. (2002). Late Pleistocene Vertebrates in Gunung Sewu. In T. Simanjuntak (Ed.), Gunung Sewu in Prehistoric Times (pp. 133–144). Gadjah Mada University Press.
Morwood, M. J., Sutikna, T., Saptomo, E. W., Westaway, K. E., Turney, C. S. M., Fifield, K., Allen, H., & Soejono, R. P. (2008). Climate , people and faunal succession on Java , Indonesia : evidence from Song Gupuh. 35, 1776–1789. https://doi.org/10.1016/j.jas.2007.11.025
Registrasi, S. K. K. P. dan. (2011). Laporan Kegiatan Verifikasi Cagar Budaya di Kabupaten Pacitan.
Sémah, A.-M., Setiagama, K., Sémah, F., Détroit, F., Grimaud-Hervé, D., & Hertler, C. (2007). First Islanders. Human Origins Patrimony in Southeast Asia. Semenanjung - HOPsea.
Sémah, A., & Sémah, F. (2012). The rain forest in Java through the Quaternary and its relationships with humans (adaptation, exploitation and impact on the forest). Quaternary International, 249, 120–128. https://doi.org/10.1016/j.quaint.2011.06.013
Sémah, F., Sémah, A., & Simanjuntak, T. (2003). More than a million years of human occupation in insular Southeast Asia: the early archaeology of eastern and central Java. In J. Mercader (Ed.), Under the Canopy: The Archaeology of Tropical Rain Forests (pp. 161–190). Rutgers University Press.
Semah, O. I. S., Semah, A., & Falgueres, C. (2004). The significance of the Punung karstic area ( Eastern Java ) for the chronology of the Javanese Palaeolithic , with special reference to the Song Terus cave 4 . The significance of the Punung karstic area ( eastern Java ) for the chronology of the Javanes. January.
Simanjuntak, H. T., Handini, R., & Prasetyo, B. (2004). Prasejarah Gunung Sewu. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. https://books.google.co.id/books?id=0KT9swEACAAJ
Simanjuntak, H. T., & Widianto, H. (2012). Prasejarah. In A. Taufik (Ed.), Indonesia Arus Sejarah Jilid 1. PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Simanjuntak, T. (2004). New Insight on the Prehistoric Chronology of Gunung Sewu, Java, Indonesia. In S. G. Keates & J. M. Pasveer (Eds.), Modern Quaternary Research Southeast Asia: Quaternary Research In Indonesia (pp. 9–30). A.A. Belkema.
Simanjuntak, T. (2006). Indonesia–Southeast Asia: Climates, settlements, and cultures in Late Pleistocene. Comptes Rendus Palevol, 5(1–2), 371–379. https://doi.org/10.1016/j.crpv.2005.10.005
Simanjuntak, T., & Prasetyo, B. (2002). Subsistence of the Cave Dwellers. In T. Simanjuntak (Ed.), Gunung Sewu in Prehistoric Times (pp. 147–164). Gadjah Mada University Press.
Simanjuntak, T., Sémah, F., & Gaillard, C. (2010). The palaeolithic in Indonesia: Nature and chronology. Quaternary International, 223–224, 418–421. https://doi.org/10.1016/j.quaint.2009.07.022
Soejono, R. (1976). Tinjauan tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia. In Aspek-aspek Arkeologi Indonesia (Vol. 5). Proyek PELITA, Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional.
Sondaar, P. Y. (1984). Faunal evolution and the mammalian biostratigraphy of Java. Cour. Forsch. Inst. Senckenberg, 69, 219–235.
Storm, P. (2001). The evolution of humans in Australasia from an environmental perspective. 171, 363–383.
Storm, P., Aziz, F., Vos, J. De, Kosasih, D., Baskoro, S., & Hoek, L. W. Van Den. (2005). Late Pleistocene Homo sapiens in a tropical rainforest fauna in East Java. 2005(April 1938), 536–545. https://doi.org/10.1016/j.jhevol.2005.06.003
Tanudirjo, D. A. (2017). Arkeologi Lanskap (EHPA Intern Balar Yogyakarta).
van der Kaars, W. A., & Dam, M. A. C. (1995). A 135,000-year record of vegetational and climatic change from the Bandung area, West-Java, Indonesia. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 117(1–2), 55–72. https://doi.org/10.1016/0031-0182(94)00121-N
Westaway, K. E., Morwood, M. J., Roberts, R. G., Rokus, A. D., Zhao, J. x., Storm, P., Aziz, F., van den Bergh, G., Hadi, P., Jatmiko, & de Vos, J. (2007). Age and biostratigraphic significance of the Punung Rainforest Fauna, East Java, Indonesia, and implications for Pongo and Homo. Journal of Human Evolution, 53(6), 709–717. https://doi.org/10.1016/j.jhevol.2007.06.002
Westaway, K. E., Zhao, J., Roberts, R. G., Chivas, A. R., Morwood, M. J., & Sutikna, T. (2007). Initial speleothem results from western Flores and eastern Java, Indonesia: were climate changes from 47 to 5 ka responsible for the extinction of Homo floresiensis? Journal of Quaternary Science, 22(5), 429–438. https://doi.org/10.1002/jqs.1122
Whitten, T., Soeriaatmadja, R. E., & Afiff, S. A. (1996). The Ecology of Java and Bali. In The Ecology of Indonesia Series (Vol. 2). Periplus Editions.
HASIL DISKUSI
Pertanyaan
Ary Sulistyo (TACB Kota Depok)
Nilai Apa yang didapat dari hasil penelitian lingkungan yang telah dilakukan tersebut?
Restu A Rahayuningsih
Disebutkan bahwa fauna Kala Pleistosen tidak mampu bertahan hidup dengan perubahan lingkungan dan iklim atau punah. Apa itu berlaku untuk semua spesies? Adakah keberlanjutan genetik fauna-fauna kala Pleistosen ke fauna kala Holosen? Apakah kepunahan fauna juga berkaitan dengan pola hidup manusia pendukungnya?
Jawaban
Pengetahuan tentang perlunya menjaga lingkungan agar tidak rusak. Data lingkungan masa lampau harus menjadi pelajaran dan peringatan di masa yang akan datang. Penelitian tentang perubahan alam dari kala Plestosen yang masih terjadi glasial dan interglasial yang dibuktikan pada biostratigrafi (alam/lapisan tanah dan fauna/makhluk hidup) ke Kala Holosen akan memperkaya ilmu terutama tentang paleoekologi, pola hidup serta evolusi manusia dan perubahan budaya.
Tidak semuanya punah, karena evolusi berlangsung lambat. Jadi masih ada beberapa spesies yang berlanjut di masa selanjutnya. Terjadinya peningkatan suhu yang mencapai titik maksimum pada sekitar 8.500 BP, menyebabkan beberapa species tidak mampu bertahan hidup (punah) antara lain species Stegodhon dan Kerbau purba. Pada saat itu, hutan hujan mencapai titik perkembangannya yang tertinggi. Hal tersebut, menyebabkan jenis binatang tertentu yang mampu bertahan hidup, antara lain jenis Rusa, Kijang, Babi, dan Monyet. Selain itu kondisi tersebut merubah pola hidup dari mengembara ke semi menetap di gua atau ceruk dengan ketersediaan jenis binatang buruan yang lebih kecil dan diikuti perubahan pengembangan teknologi alat batu dari paleolitik ke mesolitik.
Jenis fauna yang masih bertahan hidup, punah, dan munculnya beberapa fauna baru pada Kala Plestosen (fauna Ngandong) ke Kala Holosen (fauna Punung), penyebabnya adanya perubahan iklim dan suhu (Sondaar, 1984).